Ketika Hukum dan Keadilan Tidak Untuk Rakyat, Hanya Bersuara yang mampu dilakukan untuk Ringankan Beban

Jumat, 09 Desember 2011

Pemerintah Harus Lebih Peka Mendengar Suara Rakyat

Novi Christiastuti Adiputri - detikNews
 
Nusa Dua, Bali - Demokrasi bukan hanya sekadar kompetisi antar aktor politik, melainkan lebih kepada mendengarkan suara rakyat. Melalui Bali Democracy Forum (BDF) IV, pemerintah bisa lebih baik memperhatikan suara rakyat.

Demikian seperti disampaikan Direktur Eksekutif Institute for Peace and Democracy (IPD), I Ketut Putra Erawan, dalam Lokakarya Bali Democracy Forum: Peran Masyarakat Sipil dan Media Sosial dalam Partisipasi Berdemokrasi di Nusa Dua, Bali, Rabu (7/12/2011).

Di dalam penyelenggaraannya yang ke empat ini, BDF mengambil tema soal Peningkatan Partisipasi Demokratis dalam Suatu Dunia yang Berubah: Merespon Suara-Suara Demokratis. Tema kali ini merupakan evolusi panjang dari awal penyelenggaraan BDF. Dimana pada pertama kali digelar, BDF dianggap merupakan peletakan pondasi dimana demokrasi adalah agenda strategis bagi ASEAN dan Pasifik.

Pada BDF III yang digelar tahun lalu, para negara peserta sepakat mengambil kesimpulan bahwa demokrasi berasal dari dalam negara itu sendiri dan tidak bisa dipaksa dari luar. Melanjutkan kesimpulan tersebut, maka kini pemerintah atau negara harus belajar mendengar dan merespon suara demokrasi, yang tak lain adalah suara rakyat.

"Topiknya kan bagaimana membuka diri supaya bisa mendengar suara rakyat lebih baik dan melaksanakannya sesuai suara rakyat," ujar I Ketut.

"Demokrasi mempunyai poin untuk mengubah orang," imbuhnya.

Partisipasi rakyat merupakan esensi dari demokrasi. Keberadaan demokrasi bukan sekadar prosedur, seperti pemilu, memilih pemimpin, membuat undang-undang.

"Tapi masuk di dalamnya juga proses deliberasi, dimana publik diajak berpikir bersama tentang keinginan mereka dan publik diminta untuk secara substantif terlibat dalam proses mengisi demokrasi itu sendiri," jelas I Ketut.

Dalam BDF kali ini, semua negara peserta akan saling berbagi pengalaman dan bertukar pikiran soal penerapan demokrasi di negara masing. Pendekatanya yang dilakukan lebih tepat disebut inklusif, karena tidak semua negara peserta merupakan penganut demokrasi.

"Itu pendekatannya berbagi pengalaman, kita tidak pernah mau dan berhak mengajar negara lain, karena kita sendiri punya masalah internal yang harus diselesaikan," terangnya.

Menurut I Ketua, proses demokrasi adalah proses yang panjang, dan bukan hanya menjadi tugas negara, tapi juga rakyat dan media. Selain itu, rakyat sebagai pemilik kedaulatan harus terlibat dalam pengambilan kebijakan.

"Rakyat harus dilibatkan dalam mengubah tranformasi negara, tentang transforming the state. Bagaimana negara belajar lebih responsif terhadap keinginan rakyat," jelas dia.

"Bagaimana kita mendengarkan rakyat dan memilih kedaulatan rakyat berada pada sentral pemerintahan," tandas I Ketut.

Perlu diketahui bahwa pemerintah Indonesia membentuk Institute for Peace and Democracy (IPD) untuk mengimplementasikan hasil-hasil BDF. Tugas dari IPD pada pokoknya adalah mendorong pertukaran pandangan dan pengalaman melalui berbagai kegiatan seperti antara lain workshop, seminar, kuliah umum, election visit, pelatihan bagi aparatur negara, dan memperluas jejaring. Untuk jangka-panjang, IPD diharapkan menjadi center of excellence di kawasan maupun di tingkat global.

(nvc/lh)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar